Cerpen "Lelaki Sejati" karya Putu Wijaya. Tulisan ini tidak sengaja aku temukan saat sedang merapikan file-file dan dokumen yang mungkin sudah tidak diperlukan lagi. Beginilah cerita pendek yang berjudul "Lelaki Sejati" karya Putu Wijaya.
Cerpen"Kemerdekaan" karya Putu Wijaya ini mengisahkan tentang juragan burung, yang justru ingin memerdekakan burungnya dengan cara melepaskannya dari sangkar. Akan tetapi, Perkutut itu menolak, karena merasa tidak dimerdekakan, melainkan dibunuh. Prasangka tersebut timbul karena burung itu tidak terbiasa hidup di luar sangkar.
CerpenKarya Putu Wijaya (Kompas, 28 April 2019) Bu Amat tiba-tiba menodong suaminya. "Sejatinya Wakyat itu siapa, Pak?" Amat tertegun. Berpikir, lalu Putu Wijaya lahir di Puri Anom, Tabanan, Bali. Putra ketiga (bungsu) dari pasangan I Gusti Ngurah Raka dan Mekel Erwati. Setelah tamat dari SMAN Singaraja dan Fakultas Hukum UGM, pindah
CerpenGuru Karya Putu Wijaya tegsakata cerpen from www.youtube.com. Analisis cerpen laila karya putu wijaya. Di hadapan sekitar tiga ratus mahasiswa di hunter college, new york, wayan harus bercerita tentang bali. Hampir setiap tahun ada cerpen putu wijaya di sana. Source: muridsantuydoc.blogspot.com. Barangkali memang di situ peluangnya.".
Adayang menarik dari cerpen berjudul babi karya Putu Wijaya ini. Apa yang akan terjadi seandainya di dalam realita sekarang ada kejadian nyata seperti itu. "Sebuah cerita pendek adalah bagaikan sebuah mimpi baik dan mimpi buruk. Tidak terlalu penting urutan, jalinan, karena kadang-kadang ada kadangkala tidak. Yang utama adalah pekabaran
CerpenGuru (1) Karya Putu Wijaya. Guru (1) oleh Putu Wiajaya. Setelah menjadi kepala sekolah selama sepuluh tahun, Arif tiba-tiba kaget karena merasa dirinya telah dipisahkan oleh jabatan dengan anak-anak didiknya. Kesibukannya sebagai kepala sekolah menyebabkan ia tak ada waktu lagi mengajar bahasa Indonesia, menyanyi, dan menggambar yang
KELAYAKANKARYA SASTRA SEBAGAI BACAAN SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA (SMP/MTs) by Puji Santosa, Drs., M.Hum., (APU) Download Free PDF Download PDF Download Free PDF View PDF. PENGERTIAN SASTRA DAN II PERIODISASI SASTRA. by Indri Hasibuan.
Masakdiam saja. Betul, kata Ami, sekarang baru tari-tarian, kalau kita diam saja, nanti kepala kita akan diambil!". "Jangan melebih-lebihkan begitu. Lagipula kita kan punya tetangga yang mantunya orang Malaysia. Kalau mereka dengar, anak kita marah-marah sama Malaysia, bisa-bisa mantunya tersinggung.".
kLAiAq. Cerpen Karangan Dhea KartikaKategori Cerpen Remaja Lolos moderasi pada 17 March 2016 Regina Cantika, atau yang biasa dipanggil Gina, merupakan siswi SMP Pelita, salah satu SMP swasta elit di Jakarta. Gina adalah seorang gadis berwajah manis, cukup pintar, dan ramah kepada semua orang. Namun, Gina memiliki satu kekurangan. Ia tidak tahu apa potensinya dan sedikit pemalu. Gina memiliki sahabat yang bernama Chyntia Anastasia. Berkebalikan dengannya, Chyntia selalu yakin atas apa yang ia inginkan dalam hidupnya. Chyntia juga tidak pemalu seperti Gina. Mungkin, ini sebabnya kedua spesies ini awet bersahabat sejak kelas 5 SD. Mereka saling melengkapi satu sama lain. “Ya, anak-anak, hari ini kita membuat puisi, ya. Tema bebas. Nanti, puisinya ibu jadikan buat nilai tugas. Siapkan selembar kertas ulangan,” ujar Bu Pudji, guru Bahasa Indonesia kelas 7-4, kelas Gina dan Chyntia. Perintah dari Bu Pudji itu menimbulkan kasak-kusuk di antara para penghuni kelas 7-4. Cuma satu anak yang tetap tenang si bangkunya. Anak itu adalah Gina. Ia memang terkenal sebagai “Ratu Puisi.” “Pstt… Gin. Bikinin, dong. Mati ide gue. Bu Pudji ada-ada aja, sih. Ngapain coba, nyuruh kita bikin puisi segala? Gak jelas, deh,” keluh Chyntia yang duduk persis di belakang Gina. “Lo kalau mau nulis puisi harus ke luar dari hati. Jangan dari otak lo,” sahut Gina. “Eh, Dodol! Lo enak ngomong gitu! Lo udah biasa bikin beginian. Makanya, Chris suka sama lo,” balas Chyntia, sambil meledek Gina. Wajah Gina memerah mendengar ledekan Chyntia. “Apaan sih, lo?” sahutnya. “Chyntia, Gina, jangan ngobrol. Nanti gak selesai,” tegur Bu Pudji. “Maaf, Bu,” sahut Chyntia dan Gina berbarengan. Mereka langsung fokus pada puisi masing-masing. — KRING!!! Bel istirahat berbunyi nyaring. Bel kali ini seperti nyanyian malaikat yang sangat indah bagi siswa kelas 7-4. Mereka akhirnya bebas dari jam Bahasa Indonesia. Sesuai janjinya, Bu Pudji mengumpulkan puisi-puisi mereka untuk dijadikan nilai tugas. “Ginaaaaaa!! Temenin ke kantinnnn!!” seru Chyntia memanggil Gina. Gina, yang memang sudah terbiasa dengan sikap heboh Chyntia, hanya mengangguk mengiyakan. “Hai, Gin,” sapa Chris pada Gina, sekembalinya ia dan Chyntia dari kantin. Gina hanya menanggapi dengan senyum. Menurut kabar yang beredar, Chris yang bernama lengkap Christian Marcelino itu sebetulnya udah lama naksir Gina. Tapi, dia malu buat PDKT. “Gina doang, nih, yang disapa? Gue enggak?” kata Chyntia sambil memasang muka sedih. Chris tertawa kecil sebelum berkata, “Hai, Chyntia.” “Hai juga, Chris. Tadi dicariin Gina, loh,” sahut Chyntia dengan mimik centil. Gina memelototinya. Chris pura-pura tidak dengar dan tertawa kecil. “Gue ke kelas dulu, ya. Dadah,” katanya sambil masuk ke kelas 7-5, yang terletak di sebelah kelas 7-4. “Lo gila, ya?! Malu-maluin gue aja,” kata Gina sok galak. “Huahaha!!! Lagian lo berdua lucu, sih. Yang satu sok malu-malu kucing. Yang satu lagi malah berlagak nggak mudeng. Emang lo gak sadar, ya, Chris suka sama lo?” tanya Chyntia. “Yah.. sebenernya, gue juga sadar. Tapi, gue mesti gimana? Teriak-teriak di tengah koridor, gitu?” sahut Gina, sambil menyindir Chyntia, yang sering teriak-teriak di kelas. Yang disindir cengengesan. “Gue juga tahu kalau lo juga suka sama dia,” katanya dengan nada sok tau. Ditatapnya Gina. “Kita, kan, sahabatan udah sejak jaman purba. Jelas gue tau apa yang lo pikirin, Gin,” lanjutnya lugas. Gina terdiam sejenak sebelum menjawab pelan, “Sebenernya, gue emang suka sama dia. Tapi, udahlah, gak usah dibahas. Mending makan aja, yuk. Lima menit lagi bel, tuh,” katanya sambil menunjuk jam tangannya. — Seminggu kemudian. Gina berjalan memasuki sekolah dengan santai, saat tiba-tiba Cecilia, ketua kelasnya mencegatnya. “Gin, lo dipanggil Bu Pudji di ruang guru. Katanya penting tuh,” kata Cecil. “Hah? Oh, iya. Gue taro tas dulu ya. Thanks,” jawab Gina. “Yoi,” sahut Cecil. Setelah menaruh tas di kelas, Gina meluncur ke ruang guru dan menemui Bu Pudji. Chyntia belum datang, jadi Gina ke ruang guru sendirian. “Pagi, Bu. Ibu manggil saya?” tanya Gina setelah berhadapan langsung dengan Bu Pudji di ruang guru. Bu Pudji tersenyum, sebelum menjawab, “Iya. Begini, kamu ingat yang waktu itu Ibu suruh buat puisi?” Melihat Gina mengangguk, Bu Pudji melanjutkan, “Nah, waktu itu semua guru Bahasa sepakat buat nyuruh semua murid kelas 7 sampai 9 untuk menulis puisi. Puisi terbaik dipilih untuk ikut Festival Puisi. Yang terpilih itu punya kamu. Ibu juga udah tempel puisi kamu di mading,” jelas Bu Pudji. “Tapi, Bu, puisi saya jelek. Nanti malah malu-maluin sekolah,” jawab Gina. Kening Bu Pudji berkerut, sebelum berkata, “Ah, nggak. Puisi kamu bagus, kok. Makanya terpilih.” “Tapi, kalau kalah gimana, Bu?” tanya Gina. “Jangan pesimis. Dicoba aja belum. Pikir-pikir dulu aja ya,” bujuk Bu Pudji. Dalam hatinya, beliau berharap Gina menyetujui permintaannya. Menurutnya, Gina memiliki potensi yang bagus dalam dunia puisi. “Ya udah, deh, Bu. Besok saya kasih keputusannya, ya?” tanya Gina. “Oke,” sahut Bu Pudji sambil tersenyum. “Hai, Gin. Ehm… gue lihat, di mading ada puisi lo. Terus, lo disuruh ngewakilin sekolah ikut lomba puisi, ya? Congrats, ya,” kata Chris sepulang sekolah, sambil tersenyum. “Eh, iya. Makasih ya. Tapi, kayaknya, gue gak ikut, deh,” sahut Gina. Chris mengernyit sedikit. “Loh? Emang kenapa? Puisi lo keren, tahu. Tentang sahabat sejati gitu. Dalem banget, lagi, maknanya,” katanya. “Nggak, ah. Gue takut malu-maluin sekolah. Lagian….” “Ya, lo jangan pesimis dulu lah. Dicoba aja belum,” potong Chris. “Gue yakin lo pasti bisa. Semangat, ya,” lanjut Chris sambil tersenyum menyemangati dan menatap mata Gina dalam-dalam. Gina agak salah tingkah dengan tatapan Chris dan akhirnya berkata, “Iya. Thanks, ya.” — “Nah, begitu, dong. Optimis aja! Ibu yakin kamu pasti bisa. Tapi, kalau boleh tahu, apa yang bikin kamu berubah pikiran?” kata Bu Pudji keesokan harinya. Gina tersenyum simpul. “Saya pengen nyoba aja, Bu,” jawabnya. Bu Pudji ikut tersenyum. “Ya, udah. Lombanya minggu depan, ya, hari Rabu, di SMP Nusa Jaya. Jadi, kamu belajarnya cuma dari jam kelima sampai kesembilan. Kamu tahu tempat lombanya?” Gina berpikir sejenak sebelum mengangguk. “Tahu, Bu. Saya ke kelas dulu, ya. Permisi,” katanya sambil pamit ke kelas. — Seminggu kemudian. “Gimana, Gin?” tanya Bu Pudji sekeluarnya Gina dari ruangan lomba. Gina tersenyum dan menjawab, “Baik, Bu. Semoga menang. Tapi, kalau nggak, maaf udah mengecewakan,” jawab Gina. “Iya, gak apa-apa. Yang penting kamu udah usaha,” sahut Bu Pudji. Dua jam kemudian, pemenang lomba tersebut diumumkan. Ternyata, Gina menjadi juara pertamanya. Ia sama sekali tidak menyangka. Dengan gembira, ia maju ke depan untuk mengambil hadiah. Keesokan harinya, Gina melihat foto, nama, dan kelasnya terpampang di mading. Di sana tertulis bahwa ia telah menjuarai Festival Puisi dan Syair, serta mewakili sekolah menuju ke tingkat selanjutnya, yaitu tingkat provinsi. Semua anak dan para guru menyelamatinya, terlebih Chyntia. Ia melompat-lompat dan memeluk Gina dengan heboh. Ia juga menggoda Gina saat Chris datang memberi ucapan selamat. Empat bulan kemudian… “Haduh.. apaan, sih, nih sekolah. Pake ada acara tuker-tukeran cokelat segala. Gak jelas banget, deh! Pake ada program secret admirer segala, lagi! kalau mau PDKT, ya langsung lah! Cupu kalau pake jasa secret admirer. Gak jantan!” omel Chyntia. Gina memutar bola matanya. Ia bosan mendengar keluhan Chyntia soal perayaan valentine di sekolah yang menurut Chyntia gak penting. Saat itu, mereka sedang duduk-duduk di taman sekolah sambil menunggu bel masuk. Mengenai perlombaan yang diikuti Gina, lomba itu sudah selesai. Gina hanya menjadi juara tiga di tingkat provinsi. Jadi, ia tidak berhak untuk mengikuti lomba tingkat nasional. Tapi, Gina tetap senang dan bersyukur. Bisa masuk ke tingkat provinsi aja udah sangat menyenangkan untuknya. Tiba-tiba, Chyntia berkata, “Gin, gue duluan, ya! Mau ke kelas dulu, nih!” “Loh? Kenapa? Ayo, deh,” sahut Gina sambil beranjak bangkit dari kursi taman yang ia duduki. “Eh, eh, eh, gak usah! Lo harus di sini! Awas, kalau ke mana-mana!” ancam Chyntia. Dan sebelum Gina memprotes lagi, Chyntia berlari meninggalkannya sendiri. Gina menatap kepergian sahabat karibnya dengan bingung. “Dasar, edan tuh anak,” gerutunya. Tiba-tiba… “Hai, Gin,” sapa sebuah suara tepat di belakang Gina. Gina menoleh dengan cepat dan melihat Chris berdiri di sana. Dekatnya jarak antar mereka berdua membuat Gina salting. “Eh… hai,” jawab Gina pelan. Chris tersenyum dan berkata, “Chyntia gak edan, kok. Gue yang kasih kode ke dia buat pergi tadi.” “Lah? Emang kenapa?” tanya Gina bingung. Chris terlihat salting. Mukanya merah. “Soalnya… itu…” katanya gagap. Gina mengangkat alis, menunggu kelanjutan kalimat Chris. Nggak biasanya Chris salting begini. Chris menarik napas dalam-dalam, sebelum menatap mata Gina dan melanjutkan, “Gue…. Gue sayang sama lo, Gin. Soalnya, menurut gue lo itu..” Chris terdiam sejenak, lalu melanjutkan, Gue juga gak tahu lo kenapa. Tapi. lo mau, gak, jadi pacar gue? Gina terdiam sejenak. “Gin? Kok diem? Lo… gak mau, ya? Ya, udah, deh,” kata Chris dengan wajah kuyu dan meninggalkan Gina. “Eh, tunggu!” panggil Gina, saat Chris mulai berjalan pergi. Ia berlari kecil menyusul Chris. “Gue belum bilang apa-apa, loh. Emangnya, lo gak penasaran sama jawaban gue?” tanyanya sambil tersenyum. Chris menatapnya bingung. Sebelum ia sempat berkata-kata, ia mendengar Gina berkata, “Gue… gue mau,” dengan suara pelan, lalu mengangkat wajahnya dan tersenyum menatap Chris. Chris tersenyum dan meraih kedua tangan Gina, lalu menggenggamnya. Ia berbisik, “Thanks.” Wajahnya semakin mendekati wajah Gina. Gina memejamkan matanya. Tiba-tiba… “Cieeeee!!!! Akhirnya kalian resmiiii!! Traktirrrr!!” teriak sebuah suara cempreng, yang muncul dari balik sebuah pohon tak jauh dari tempat Gina dan Chris berdiri. “Chyntia?! Katanya, lo ke kelas!!” seru Gina. Mukanya sangat merah. Sementara, muka Chris juga nggak kalah merahnya. Chyntia cengengesan dan berkata tanpa dosa, “Feeling gue, bakal ada kejadian penting di sini. Makanya, gue sengaja ngintip. Udah, ya, gue mau mewartakan berita sukacita ini ke seluruh sekolah dulu. Dah.. Jangan lupa Traktir,” katanya, lalu berlari meninggalkan Chris dan Gina. Gina dan Chris saling tatap sebelum akhirnya kompak berteriak. “CHYNTIA!!!!!” Cerpen Karangan Dhea Kartika Facebook Dhea Kartika Dhea saat ini berusia 14 tahun. Hobi menulis puisi dan cerpen. Cerpen Menggapai Mimpi merupakan cerita pendek karangan Dhea Kartika, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya. "Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!" Share ke Facebook Twitter WhatsApp " Baca Juga Cerpen Lainnya! " Dia Oleh Sri Ambar Sejujurnya aku ingin mengatakan apa yang saat ini aku rasakan. Apa yang harus kulakukan ketika diri ini merasakan rasa cinta yang dalam kepada seseorang. Yaitu kakak kelasku yang bernama Me and Devil Oleh Lidya Silaban Hari ini giliran Ino yang kebersihan kelas, dan dibantu dengan teman-teman yang lainnya juga. “Ino, tolong bersihkan penghapus papan tulis itu†kata temannya sambil menunjukan telak penghapus papan tulis. Kenapa Aku Berbeda Part 1 Oleh Zainur Rifky Adzan shubuh berkumandang. Seperti biasanya, Bundaku membangunkanku dengan kasih sayang dan ketegasannya. “Nak, ayo bangun. Sudah Aku pun terbangun dan melihat Bunda dan Kakak sudah siap untuk sholat. Moranica Oleh Alli Nur Magribi Nama aku Ali Alli Nur Magribi. Aku punya temen namanya Andzar, dia tuh baik dan orangnya kalem. Suatu hari dia ngajak aku buat pergi ke toko buku gramedia yang The Relationship Oleh Septiana Azizah Perkenalkan namaku Revita Febrianty, teman-temanku biasanya memanggilku Rere. Aku adalah siswa kelas XI dari SMAN 1 Kotabaru. Aku memiliki dua orang sahabat, yaitu Lala, Dina dan Eky. Merekalah teman-teman “Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?†"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan loh, bagaimana dengan kamu?"
Putu Wijaya, begitu nama yang lebih sering didengar oleh telinga. Sastrawan Indonesia yang sudah berusia 76 tahun ini memiliki nama asli I Gusti Ngurah Taksu Wijaya. Ya, dari namanya sudah terlihat bahwa beliau berasal dari Bali. Lahir dan besar di Tabanan, Bali lebih tepatnya, Putu Wijaya sudah memiliki hobi membaca buku sejak kecil. Beliau sangat tertarik dalam dunia sastra. Saat duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama, cerita pendek berjudul “Etsa” yang ditulisnya berhasil dimuat di harian Suluh Indonesia, Bali. Beranjak ke Sekolah Menengah Atas, beliau mencoba hal baru yaitu mengikuti pementasan drama di Wijaya, sumber menyelesaikan SMA-nya di Bali, Putu Wijaya merantau ke Jogja, Kota Seni dan Budaya, untuk melanjutkan studinya di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Ketertarikanya pada sastra dan seni yang dalam mendorong beliau untuk belajar seni lukis di Akademi Seni Rupa Indonesia ASRI. Selain itu, beliau juga menyambi di Akademi Seni Drama dan Film ASDRAFI untuk menekuni seni drama. Tak hanya itu, di kota itu juga beliau turut ikut serta dalam Bengkel Teater yang diasuh oleh W. S. Rendra, seorang sastrawan yang namanya sudah besar di Indonesia. Putu Wijaya memutuskan untuk pergi ke Jakarta setelah mendapatkan gelar sarjana hukumnya pada tahun 1969. Di Jakarta, beliau bergabung dengan Teater Kecil dan Teater Populer sembari bekerja di majalah Tempo sebagai redaktur. Lama bekerja disana, Putu Wijaya mendirikan Teater Mandiri bersama rekan-rekan kerjanya pada tahun seorang sastrawan serta dramawan, Putu Wijaya sudah banyak mengeluarkan karya-karya yang tak terhitung novel dan naskah drama, ratusan esai, serta ribuan cerita pendek sudah ditulis Putu Wijaya sejak beliau masuk dalam dunia sastra. Beberapa novel yang telah beliau tulis antara lain Keok, Tiba-Tiba Malam, dan Dar Der Keok karya Putu Wijaya, sumber lupa beliau juga telah mementaskan puluhan teater di dalam maupun luar negeri. Salah satunya yaitu naskah Aum Roar yang dipentaskan di Madison, Connecticut, Amerika Serikat. Putu Wijaya juga tidak jarang ikut mementaskan naskah drama yang beliau tulis sendiri. Salah satunya yaitu naskah drama yang berjudul Lautan Bernyanyi pada tahun Guru, Karya Putu WijayaSaat saya mencari-cari cerpen untuk dibaca, saya berhenti pada satu cerpen berjudul Guru, karya Putu Wijaya. Mungkin bagi sebagian orang judul ini tidak menarik mata. Tapi, entah mengapa saya memutuskan untuk ini mengisahkan seorang bapak yang resah dan marah akan keinginan anaknya, Taksu. Bapak ini tidak senang bahwa Taksu bercita-cita menjadi guru. Menurutnya, guru merupakan pekerjaan yang tak memiliki masa depan, guru merupakan pekerjaan bagi orang yang gagal. Ia telah mencoba segala cara, seperti membelikan mobil untuk Taksu agar Taksu berubah pikiran untuk tidak bercita-cita sebagai guru lagi. Namun, usahanya gagal. Taksu tetap teguh bahwa ia ingin menjadi guru, tak peduli apa yang bapaknya katakan. Cerpen ini berakhir 10 tahun kemudian, sang bapak sudah tak lagi resah dan marah. Taksu telah menjadi guru. Guru bagi anak muda, bangsa dan negara karena telah menularkan etos selesai membaca cerpen "Guru" ini saya menyadari suatu hal. Bahwa di era sekarang, profesi guru masih kerap dipandang sebelah mata. Masih banyak orang seperti tokoh "bapak" pada cerpen Putu Wijaya ini dalam dunia nyata. Orang-orang yang menganggap bahwa guru bukanlah profesi yang patut cerpen ini saya dapat mengambil suatu pesan. Jika kita memiliki mimpi untuk masa depan kita, kita harus fokus terhadap mimpi tersebut dan menghiraukan segala perkataan negatif yang dilontarkan orang lain. Karena pada akhirnya, kita yang akan menjalani hidup kita sendiri, bukan mereka. Jika kita berhasil menggapai mimpi yang kita punya, orang lain dengan sendirinya akan menyadari kemampuan saya, cerpen Putu Wijaya ini merupakan cerpen yang patut diacungi jempol. Melalui cerpen ini beliau menceritakan hal yang nyata adanya di kehidupan masyarakat.
Tulisan ini tidak sengaja aku temukan saat sedang merapikan file-file dan dokumen yang mungkin sudah tidak diperlukan lagi. Beginilah cerita pendek yang berjudul “Lelaki Sejati” karya Putu Wijaya LAKI-LAKI SEJATI Cerpen Putu Wijaya Seorang perempuan muda bertanya kepada ibunya. Ibu, lelaki sejati itu seperti apa? Ibunya terkejut. Ia memandang takjub pada anak yang di luar pengamatannya sudah menjadi gadis jelita itu. Terpesona, karena waktu tak mau menunggu. Rasanya baru kemarin anak itu masih ngompol di sampingnya sehingga kasur berbau pesing. Tiba-tiba saja kini ia sudah menjadi perempuan yang punya banyak pertanyaan. Sepasang matanya yang dulu sering belekan itu, sekarang bagai sorot lampu mobil pada malam gelap. Sinarnya begitu tajam. Sekelilingnya jadi ikut memantulkan cahaya. Namun jalan yang ada di depan hidungnya sendiri, yang sedang ia tempuh, nampak masih berkabut. Hidup memang sebuah rahasia besar yang tak hanya dialami dalam cerita di dalam pengalaman orang lain, karena harus ditempuh sendiri. Kenapa kamu menanyakan itu, anakku? Sebab aku ingin tahu. Dan sesudah tahu? Aku tak tahu. Wajah gadis itu menjadi merah. Ibunya paham, karena ia pun pernah muda dan ingin menanyakan hal yang sama kepada ibunya, tetapi tidak berani. Waktu itu perasaan tidak pernah dibicarakan, apalagi yang menyangkut cinta. Kalaupun dicoba, jawaban yang muncul sering menyesatkan. Karena orang tua cenderung menyembunyikan rahasia kehidupan dari anak-anaknya yang dianggapnya belum cukup siap untuk mengalami. Kini segalanya sudah berubah. Anak-anak ingin tahu tak hanya yang harus mereka ketahui, tetapi semuanya. Termasuk yang dulu tabu. Mereka senang pada bahaya. Setelah menarik napas, ibu itu mengusap kepala putrinya dan berbisik. Jangan malu, anakku. Sebuah rahasia tak akan menguraikan dirinya, kalau kau sendiri tak penasaran untuk membukanya. Sebuah rahasia dimulai dengan rasa ingin tahu, meskipun sebenarnya kamu sudah tahu. Hanya karena kamu tidak pernah mengalami sendiri, pengetahuanmu hanya menjadi potret asing yang kamu baca dari buku. Banyak orang tua menyembunyikannya, karena pengetahuan yang tidak perlu akan membuat hidupmu berat dan mungkin sekali patah lalu berbelok sehingga kamu tidak akan pernah sampai ke tujuan. Tapi ibu tidak seperti itu. Ibu percaya zaman memberikan kamu kemampuan lain untuk menghadapi bahaya-bahaya yang juga sudah berbeda. Jadi ibu akan bercerita. Tetapi apa kamu siap menerima kebenaran walaupun itu tidak menyenangkan? Maksud Ibu? Lelaki sejati anakku, mungkin tidak seperti yang kamu bayangkan. Kenapa tidak? Sebab di dalam mimpi, kamu sudah dikacaukan oleh bermacam-macam harapan yang meluap dari berbagai kekecewaan terhadap laki-laki yang tak pernah memenuhi harapan perempuan. Di situ yang ada hanya perasaan keki. Apakah itu salah? Ibu tidak akan bicara tentang salah atau benar. Ibu hanya ingin kamu memisahkan antara perasaan dan pikiran. Antara harapan dan kenyataan. Aku selalu memisahkan itu. Harapan adalah sesuatu yang kita inginkan terjadi yang seringkali bertentangan dengan apa yang kemudian ada di depan mata. Harapan menjadi ilusi, ia hanya bayang-bayang dari hati. Itu aku mengerti sekali. Tetapi apa salahnya bayang-bayang? Karena dengan bayang-bayang itulah kita tahu ada sinar matahari yang menyorot, sehingga berkat kegelapan, kita bisa melihat bagian-bagian yang diterangi cahaya, hal-hal yang nyata yang harus kita terima, meskipun itu bertentangan dengan harapan. Ibunya tersenyum. Jadi kamu masih ingat semua yang ibu katakan? Kenapa tidak? Berarti kamu sudah siap untuk melihat kenyataan? Aku siap. Aku tak sabar lagi untuk mendengar. Tunjukkan padaku bagaimana laki-laki sejati itu. Ibu memejamkan matanya. Ia seakan-akan mengumpulkan seluruh unsur yang berserakan di mana-mana, untuk membangun sebuah sosok yang jelas dan nyata. Laki-laki yang sejati, anakku katanya kemudian, adalah… tetapi ia tak melanjutkan. Adalah? Adalah seorang laki-laki yang sejati. Ah, Ibu jangan ngeledek begitu, aku serius, aku tak sabar. Bagus, Ibu hanya berusaha agar kamu benar-benar mendengar setiap kata yang akan ibu sampaikan. Jadi perhatikan dengan sungguh-sungguh dan jangan memotong, karena laki-laki sejati tak bisa diucapkan hanya dengan satu kalimat. Laki-laki sejati anakku, lanjut ibu sambil memandang ke depan, seakan-akan ia melihat laki-laki sejati itu sedang melangkah di udara menghampiri penjelmaannya dalam kata-kata. Laki-laki sejati adalah… Laki-laki yang perkasa?! Salah! Kan barusan Ibu bilang, jangan menyela! Laki-laki disebut laki-laki sejati, bukan hanya karena dia perkasa! Tembok beton juga perkasa, tetapi bukan laki-laki sejati hanya karena dia tidak tembus oleh peluru tidak goyah oleh gempa tidak tembus oleh garukan tsunami, tetapi dia harus lentur dan berjiwa. Tumbuh, berkembang bahkan berubah, seperti juga kamu. O ya? Bukan karena ampuh, bukan juga karena tampan laki-laki menjadi sejati. Seorang lelaki tidak menjadi laki-laki sejati hanya karena tubuhnya tahan banting, karena bentuknya indah dan proporsinya ideal. Seorang laki-laki tidak dengan sendirinya menjadi laki-laki sejati karena dia hebat, unggul, selalu menjadi pemenang, berani dan rela berkorban. Seorang laki-laki belum menjadi laki-laki sejati hanya karena dia kaya-raya, baik, bijaksana, pintar bicara, beriman, menarik, rajin sembahyang, ramah, tidak sombong, tidak suka memfitnah, rendah hati, penuh pengertian, berwibawa, jago bercinta, pintar mengalah, penuh dengan toleransi, selalu menghargai orang lain, punya kedudukan, tinggi pangkat atau punya karisma serta banyak akal. Seorang laki-laki tidak menjadi laki-laki sejati hanya karena dia berjasa, berguna, bermanfaat, jujur, lihai, pintar atau jenius. Seorang laki-laki meskipun dia seorang idola yang kamu kagumi, seorang pemimpin, seorang pahlawan, seorang perintis, pemberontak dan pembaru, bahkan seorang yang arif-bijaksana, tidak membuat dia otomatis menjadi laki-laki sejati! Kalau begitu apa dong? Seorang laki-laki sejati adalah seorang yang melihat yang pantas dilihat, mendengar yang pantas didengar, merasa yang pantas dirasa, berpikir yang pantas dipikir, membaca yang pantas dibaca, dan berbuat yang pantas dibuat, karena itu dia berpikir yang pantas dipikir, berkelakuan yang pantas dilakukan dan hidup yang sepantasnya dijadikan kehidupan. Perempuan muda itu tercengang. Hanya itu? Seorang laki-laki sejati adalah seorang laki-laki yang satu kata dengan perbuatan! Orang yang konsekuen? Lebih dari itu! Seorang yang bisa dipercaya? Semuanya! Perempuan muda itu terpesona. Apa yang lebih dari yang satu kata dan perbuatan? Tulus dan semuanya? Ahhhhh! Perempuan muda itu memejamkan matanya, seakan-akan mencoba membayangkan seluruh sifat itu mengkristal menjadi sosok manusia dan kemudian memeluknya. Ia menikmati lamunannya sampai tak sanggup melanjutkan lagi ngomong. Dari mulutnya terdengar erangan kecil, kagum, memuja dan rindu. Ia mengalami orgasme batin. Ahhhhhhh, gumannya terus seperti mendapat tusukan nikmat. Aku jatuh cinta kepadanya dalam penggambaran yang pertama. Aku ingin berjumpa dengan laki-laki seperti itu. Katakan di mana aku bisa menjumpai laki-laki sejati seperti itu, Ibu? Ibu tidak menjawab. Dia hanya memandang anak gadisnya seperti kasihan. Perempuan muda itu jadi bertambah penasaran. Di mana aku bisa berkenalan dengan dia? Untuk apa? Karena aku akan berkata terus-terang, bahwa aku mencintainya. Aku tidak akan malu-malu untuk menyatakan, aku ingin dia menjadi pacarku, mempelaiku, menjadi bapak dari anak-anakku, cucu-cucu Ibu. Biar dia menjadi teman hidupku, menjadi tongkatku kalau nanti aku sudah tua. Menjadi orang yang akan memijit kakiku kalau semutan, menjadi orang yang membesarkan hatiku kalau sedang remuk dan ciut. Membangunkan aku pagi-pagi kalau aku malas dan tak mampu lagi bergerak. Aku akan meminangnya untuk menjadi suamiku, ya aku tak akan ragu-ragu untuk merayunya menjadi menantu Ibu, penerus generasi kita, kenapa tidak, aku akan merebutnya, aku akan berjuang untuk memilikinya. Dada perempuan muda itu turun naik. Apa salahnya sekarang wanita memilih laki-laki untuk jadi suami, setelah selama berabad-abad kami perempuan hanya menjadi orang yang menunggu giliran dipilih? Perempuan muda itu membuka matanya. Bola mata itu berkilat-kilat. Ia memegang tangan ibunya. Katakan cepat Ibu, di mana aku bisa menjumpai laki-laki itu? Bunda menarik nafas panjang. Gadis itu terkejut. Kenapa Ibu menghela nafas sepanjang itu? Karena kamu menanyakan sesuatu yang sudah tidak mungkin, sayang. Apa? Tidak mungkin? Ya. Kenapa? Karena laki-laki sejati seperti itu sudah tidak ada lagi di atas dunia. Oh, perempuan muda itu terkejut. Sudah tidak ada lagi? Sudah habis. Ya Tuhan, habis? Kenapa? Laki-laki sejati seperti itu semuanya sudah amblas, sejak ayahmu meninggal dunia. Perempuan muda itu menutup mulutnya yang terpekik karena kecewa. Sudah amblas? Ya. Sekarang yang ada hanya laki-laki yang tak bisa lagi dipegang mulutnya. Semuanya hanya pembual. Aktor-aktor kelas tiga. Cap tempe semua. Banyak laki-laki yang kuat, pintar, kaya, punya kekuasaan dan bisa berbuat apa saja, tapi semuanya tidak bisa dipercaya. Tidak ada lagi laki-laki sejati anakku. Mereka tukang kawin, tukang ngibul, semuanya bakul jamu, tidak mau mengurus anak, apalagi mencuci celana dalammu, mereka buas dan jadi macan kalau sudah dapat apa yang diinginkan. Kalau kamu sudah tua dan tidak rajin lagi meladeni, mereka tidak segan-segan menyiksa menggebuki kaum perempuan yang pernah menjadi ibunya. Tidak ada lagi laki-laki sejati lagi, anakku. Jadi kalau kamu masih merindukan laki-laki sejati, kamu akan menjadi perawan tua. Lebih baik hentikan mimpi yang tak berguna itu. Gadis itu termenung. Mukanya nampak sangat murung. Jadi tak ada harapan lagi, gumamnya dengan suara tercekik putus asa. Tak ada harapan lagi. Kalau begitu aku patah hati. Patah hati? Ya. Aku putus asa. Kenapa mesti putus asa? Karena apa gunanya lagi aku hidup, kalau tidak ada laki-laki sejati? Ibunya kembali mengusap kepala anak perempuan itu, lalu tersenyum. Kamu terlalu muda, terlalu banyak membaca buku dan duduk di belakang meja. Tutup buku itu sekarang dan berdiri dari kursi yang sudah memenjarakan kamu itu. Keluar, hirup udara segar, pandang lagit biru dan daun-daun hijau. Ada bunga bakung putih sedang mekar beramai-ramai di pagar, dunia tidak seburuk seperti yang kamu bayangkan di dalam kamarmu. Hidup tidak sekotor yang diceritakan oleh buku-buku dalam perpustakaanmu meskipun memang tidak seindah mimpi-mimpimu. Keluarlah anakku, cari seseorang di sana, lalu tegur dan bicara! Jangan ngumpet di sini! Aku tidak ngumpet! Jangan lari! Siapa yang lari? Mengurung diri itu lari atau ngumpet. Ayo keluar! Keluar ke mana? Ke jalan! Ibu menunjuk ke arah pintu yang terbuka. Bergaul dengan masyarakat banyak. Gadis itu termangu. Untuk apa? Dalam rumah kan lebih nyaman? Kalau begitu kamu mau jadi kodok kuper! Tapi aku kan banyak membaca? Aku hapal di luar kepala sajak-sajak Kahlil Gibran! Tidak cukup! Kamu harus pasang omong dengan mereka, berdialog akan membuat hatimu terbuka, matamu melihat lebih banyak dan mengerti pada kelebihan-kelebihan orang lain. Perempuan muda itu menggeleng. Tidak ada gunanya, karena mereka bukan laki-laki sejati. Makanya keluar. Keluar sekarang juga! Keluar? Ya. Perempuan muda itu tercengang, suara ibunya menjadi keras dan memerintah. Ia terpaksa meletakkan buku, membuka earphone yang sejak tadi menyemprotkan musik R & B ke dalam kedua telinganya, lalu keluar kamar. Matahari sore terhalang oleh awan tipis yang berasal dari polusi udara. Tetapi itu justru menolong matahari tropis yang garang itu untuk menjadi bola api yang indah. Dalam bulatan yang hampir sempurna, merahnya menyala namun lembut menggelincir ke kaki langit. Silhuet seekor burung elang nampak jauh tinggi melayang-layang mengincer sasaran. Wajah perempuan muda itu tetap kosong. Aku tidak memerlukan matahari, aku memerlukan seorang laki-laki sejati, bisiknya. Makanya keluar dari rumah dan lihat ke jalanan! Untuk apa? Banyak laki-laki di jalanan. Tangkap salah satu. Ambil yang mana saja, sembarangan dengan mata terpejam juga tidak apa-apa. Tak peduli siapa namanya, bagaimana tampangnya, apa pendidikannya, bagaimana otaknya dan tak peduli seperti apa perasaannya. Gaet sembarang laki-laki yang mana saja yang tergapai oleh tanganmu dan jadikan ia teman hidupmu! Perempuan muda itu tecengang. Hampir saja ia mau memprotes. Tapi ibunya keburu memotong. Asal, lanjut ibunya dengan suara lirih namun tegas, asal, ini yang terpenting anakku, asal dia benar-benar mencintaimu dan kamu sendiri juga sungguh-sungguh mencintainya. Karena cinta, anakku, karena cinta dapat mengubah segala-galanya. Perempuan muda itu tercengang. Dan lebih dari itu, lanjut ibu sebelum anaknya sempat membantah, lebih dari itu anakku, katanya dengan suara yang lebih lembut lagi namun semakin tegas, karena seorang perempuan, anakku, siapa pun dia, dari mana pun dia, bagaimana pun dia, setiap perempuan, setiap perempuan anakku, dapat membuat seorang lelaki, siapa pun dia, bagaimana pun dia, apa pun pekerjaannya bahkan bagaimana pun kalibernya, seorang perempuan dapat membuat setiap lelaki menjadi seorang laki-laki yang sejati! *** Denpasar, akhir 2004 Source